BUMDesa

BUMDes – Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi baru saja mengumumkan, memasuki Juli 2018 saat ini, jumlah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di seluruh Indonesia mencapai 35 ribu dari 74.910 desa di seluruh bumi nusantara. Jumlah itu lima kali lipat dari target Kementerian Desa yang hanya mematok 5000 BUMDes. Apakah itu berarti kekuatan BUMDes sudah siap menjadi kekuatan ekonomi raksasa di Indonesia?

Masalahnya, hingga sampai saat ini, berbagai data menyebut bahwa sebagian besar BUMDes masih sebatas berdiri dan belum memiliki aktivitas usaha yang menghasilkan. Sebagian lagi malah layu sebelum berkembang karena masih ‘sedikitnya’ pemahaman BUDMdes pada sebagian besar kepala desa.

Ada beragam masalah yang membuat ribuan BUMDes belum tumbuh sebagaimana harapan. Pertama, karena wacana BUMDes bagi banyak desa baru masih seumur jagung terutama sejak disahkannya UU Desa No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Sejak saat itu pemerintah lalu menggenjot isu pendirian BUMDes di seluruh desa di penjuru nusantara. Ini membuat Kementerian Desa menjadi salah satu Kementerian yang paling sibuk keliling seluruh pelosok negeri demi sosialisasi jabang bayi bernama BUMDes ini.

Kedua, selama bertahun-tahun desa adalah struktur pemerintahan yang berjalan atas dasar instruksi dari lembaga di atasnya.  Hampir semua yang diurus Kepala Desa dan pasukan perangkatnya berpusat pada masalah administrasi.

Kalaupun desa mendapatkan porsi membangun, anggaran yang mengucur boleh dikatakan sebagai ‘sisanya-sisa’. Maka lahirnya UU Desa membuat Kepala Desa dan jajaran-nya membutuhkan waktu untuk mempelajari Undang undang dan berbagai peran dan tanggung jawab baru berkaitan dengan datangnya BUMDes di desanya.

Pengesahan UU Desa  adalah titik balik sejarah bagi desa di Indonesia. Desa yang selama ini hidup hanya sebagai obyek dan dianggap hanya cukup menjalankan instruksi saja, berubah total.

Visi Presiden Joko Widodo yang menetapkan program membangun Indonesia dari pinggiran dalam Nawacita-nya adalah salahsatu yang membuat desa mendapatkan nasib baik. Perubahan mulai menyinari sudut-sudut wilayah Indonesia: desa.

Pengesahan UU Desa, Nawacita dan kemudian dana desa memang amunisi baru yang membuat desa memiliki kekuatan besar membangun diri. Tetapi di sisi lain ini adalah tantangan yang benar-benar berbeda dari sejarah desa sebelumnya.

Jika pada masa lalu struktur pemerintahan di atas desa bisa melakukan intervensi kebijakan yang dibuat desa, kini hal itu tinggal kenangan saja. Desa sepenuhnya memiliki wewenang untuk merumuskan langkahnya sendiri melalui Musyawarah Desa.

Ini menjadi PR besar bukan hanya Kementerian Desa untuk bisa menjelaskan BUMDes kepada seluruh desa di seluruh nusantara. Tetapi juga tantangan besar bagi para kepala desa di berbagai pelosok negeri untuk memahami dan menjalankannya.

Bukan hanya dalam masalah merumuskan bagaimana dirinya akan membangun, desa juga memiliki wewenang sepenuhnya mengelola Dana Desa untuk mewujudkan kesejahteraan desa. Bukan main-main, dana desa langsung ditransfer dari rekening APBN ke desa sehingga kini anggaran untuk desa tidak perlu lagi ‘mampir’ ke berbagai pos dan tercecer-cecer di jalan.

Jumlah dana desa juga bukan angka kecil, dalam empat tahun ini negara telah menggelontoran Rp. 187 triliun. Tahun 2018 ini, Dana Desa dianggarka Rp. 60 triliun dan direncanakan bakal naik pada 2019.

Ini adalah anggaran paling besar yang digelontorkan langsung ke desa sepanjang sejarah kekuasaan  negeri ini. Jaman perubahan benar-benar datang ke desa. Dilindungi oleh Undang Undang, dipersenjatai beragai keputusan pemerintah pendukung UU dan dilengkapi amunisi berupa dana desa yang cukup besar, desa mulai merubah nasibnya.

Apa itu BUMDes?

BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki desa melalui penyertaan modal langsung yang berasal dari kekayaan desa. Lembaga ini digadang-gadang sebagai kekuatan yang akan bisa mendorong terciptanya peningkatan kesejahteraan dengan cara menciptakan produktivitas ekonomi bagi desa dengan berdasar pada ragam potensi yang dimiliki desa.

BUMDes harus lahir atas kehendak seluruh warga desa yang diputuskan melalui Musyawarah Desa (Musdes). Musdes adalah forum tertinggi melahirkan berbagai keputuan utama dalam BUMDes mulai dari nama lembaga, pemilihan pengurus hingga jenis usaha yang bakal dijalankan.

Dalam proses ini setidaknya ada dua pertemuan besar yang melibatkan seluruh elemen penting warga desa secara perwakilan. Yang pertama adalah sosialisasi dan pembentukan tim yang bertugas mengawal seluruh proses pembentukan dan pertemuan kedua untuk melahirkan berbagai keputusan final. Seluruh proses ini tentu saja menjadi tanggung jawab Pemerintah Desa sebagai penyelenggaranya.

Apakah setelah BUMDes lahir berarti lantas harus bertanggungjawab terhadap urusan pemberdayaan ekonomi desa? Ini yang sering salah dipahami. BUMDes lahir sebagai lembaga desa yang berfungsi menciptakan kesejahteraan warga dengan memanfaatkan aset dan potensi yang dimiliki desa dan dipersenjatai modal penyertaan dari desa.

Maka tidak berarti semua urusan ekonomi desa masuk dalam ranah BUMDes, sama sekali tidak. Soalnya di desa masih ada banyak lembaga ekonomi yang tidak masuk dalam cakupan BUMDes bahkan tidak bisa di BUMDes-kan.

Maka perlu digaris-bawahi, yang paling menentukan berkembang dan tidaknya ekonomi desa adalah: Kepala Desa! Ya, bagaimanapun seluruh rangkaian proses ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan persoalan seorang kepala desa dalam menjalankan visi ekonomi untuk desanya.

Jaman sekarang ini, kepala desa tidak hanya berfungsi sebagai pemberi tanda-tangan berbagai dokumen administratif dan hal-hal yang formal saja. Melainkan harus memiliki visi yang kuat, pengetahuan yang mumpuni mengenai Undang undang termasuk UU Desa, menguasai informasi terbaru mengenai potensi ekonomi desa dan memiliki kemampuan melakukan analisa terhadap berbagai peluag ekonomi baik di desa maupun di luar desanya. Dengan kata lain, sekarang ini seorang Kepala Desa harus menjadi seorang Arsitek Ekonomi Desa.

Jenis usaha yang bisa dijalankan BUMDes yakni:

  1. Bisnis Sosial/ Serving

Melakukan pelayanaan pda warga sehingga warga mendapatkan manfaat sosial yang besar. Pada model usaha seperti ini BUMDes tidak menargetkan keuntungan profit. Jenis bisnis ini seperti pengelolaan air minum, pengolahan sampah dan sebagainya.

  1. Keuangan/Banking

BUMDes bisa membangun lembaga keuangan untuk membantu warga mendapakan akses modal dengan cara yang mudah dengan bunga semurah mungkin. Bukan rahasia lagi, sebagian besar bank komersil di negeri ini tidak berpihak pada rakyat kecil pedesaan.

Selain mendorong produktivitas usaha milik warga dari sisi permodalan, jenis usaha ini juga bisa menyelamatkan nasib warga dari cengkeraman renternir yang selama ini berkeliaran di desa-desa.

  1. Bisnis Penyewaan/Renting

Menjalankan usaha penyewaan untuk memudahkan warga mendapatkan berbagai kebuuhan peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan misalnya penyewaan gedung, alat pesta, penyewaan traktor dan sebagainya.

  1. Lembaga Perantara/Brokering

BUMDes menjadi perantara antara komoditas yang dihasilkan warga pada pasar yang lebih luas sehingga BUMDes memperpendek jalur distribusi komoditas menuju pasar. Cara ini akan memberikan dampak ekonomi yang besar pada warga sebagai produsen karena tidak lagi dikuasai tengkulak.

  1. Perdagangan/Trading

BUMDes menjalankan usaha penjualan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat yang selama ini tidak bisa dilakukan warga secara perorangan. Misalnya, BUMDes mendirikan Pom Bensin bagi kapal-kapal di desa nelayan. BUMDes mendirikan pabrik es ada nelayan sehingga nelayan bisa mendapatkan es dengan lebih murah untuk menjaga kesegaran ikan tangakapan mereka ketika melaut

  1. Usaha Bersama/Holding

BUMDes membangun sistem usaha terpadu yang melihatkan banyak usaha di desa. Misalnya, BUMDes mengelola wisata desa dan membuka akses seluasnya pada penduduk untuk bisa mengambil berbagai peran yang dibutuhkan dalam kegiatan usaha wisata itu.

  1. Kontraktor/Contracting

Menjalankan pola kerja kemitraan pada berbagai kegiatan desa seperti pelaksana proyek desa, pemasok berbagai bahan pada proyek desa, penyedia jasa cleaning servise dan lain-lain. Apalagi sejak 2018 pemerintah desa dilarang mengundang kontraktor dari luar desa untuk mengerjakan berbagai proyek yang dimiliki desa.